Minggu, 06 April 2014

Tanggung Jawab Lingkungan Kunci Reputasi Perusahaan


Tanggung jawab sosial perusahaan semakin menjadi penentu reputasi perusahaan. Perusahaan diharapkan berperan aktif – atau setidaknya menjadi pendorong – menyelesaikan masalah sosial dan lingkungan sekitar.
Korporasi yang mengabaikan kewajiban ini akan menghadapi risiko yang lebih besar – 9 dari 10 responden menyatakan, mereka akan memboikot perusahaan yang tidak bertanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan.
Hal ini terungkap dari hasil penelitian terbaru berjudul “Global CSR Study 2013″ oleh Cone Communications/Echo, yang dirilis Rabu (22/5). Penelitian ini adalah penelitian terbaru yang dilakukan oleh Cone Communications dan Echo Research – setelah penelitian tahun 2011 – tentang persepsi, sikap dan perilaku konsumen terhadap program tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR.
Sebanyak lebih dari 10.000 responden di 10 negara dengan nilai produk domestik bruto (PDB) terbesar terlibat dalam penelitian ini, termasuk responden di Amerika Serikat, Kanada, Brasil, Inggris, Jerman, Perancis, Rusia, China, India dan Jepang.
“Konsumen di seluruh dunia sepakat bahwa CSR adalah strategi bisnis yang penting bagi perusahaan,” ujar Dan Soulas, Direktur Echo Research. “Perusahaan perlu memahami situasi dan kondisi di masyarakat agar bisa berperan aktif dalam program CSR. Perusahaan tidak bisa menerapkan satu strategi untuk semua program CSR.”
Yang menarik, program CSR juga menjadi semakin sensitif dengan keterlibatan media sosial seperti Twitter dan Facebook. Kasus pelanggaran hukum dan lingkungan perusahaan kini semakin mudah tersebar melalui media sosial.
Sekitar dua per tiga konsumen global (62%) menyatakan mereka mengikuti program CSR perusahaan melalui media sosial. Walau sebagian besar konsumen (36%) masih memberitakan hal yang positif mengenai perusahaan, namun lebih dari seperempat responden (26%) menyatakan, mereka juga menyebarkan berita negatif terkait perusahaan tertentu.
Peran media sosial semakin besar di negara dengan pengguna peranti mobil terbanyak seperti di China, India dan Brazil, dimana 90%, 89% dan 85% responden menyatakan mereka menggunakan sosial media untuk memeroleh informasi mengenai aksi-aksi CSR perusahaan.
“Media sosial telah mengubah wajah CSR. Semakin banyak masyarakat yang menggunakan media sosial untuk mengakses informasi mengenai perilaku perusahaan,” ujar Alison DaSilva, dari Cone Communications. “Media sosial tidak hanya menjadi sumber informasi namun juga corong bagi kegiatan CSR perusahaan, menyebar berita baik dan buruk dengan proporsi berimbang.”
Di seluruh dunia, sebanyak 22% konsumen – baik individu maupun korporasi – percaya, perusahaan berpengaruh positif dalam menyelesaikan masalah sosial dan lingkungan, namun baru seperempatnya (25%) yang merasa perusahaan telah membawa dampak yang signifikan dalam menyelesaikan masalah sosial dan lingkungan.
“Perusahaan masih memiliki banyak pekerjaan rumah,” ujar DaSilva. “Penelitian ini mengungkapkan, konsumen saat ini semakin vokal dan sadar menuntut bukti dari aksi perusahaan. Sehingga komunikasi yang konsisten mengenai dampak CSR bagi korporasi maupun konsumen semakin penting.”
Penelitian ini juga mengungkap data-data penting lain mengenai program CSR perusahaan. Hanya 6% dari responden yang percaya bahwa misi perusahaan hanyalah mencari untung bagi para pemegang saham. Sebanyak 91% responden percaya perusahaan harus beroperasi secara lebih bertanggung jawab melebihi syarat yang telah ditentukan. Dan sebanyak 93% responden ingin produk dan jasa yang mereka gunakan melakukan aksi CSR.
Lebih dari 81% responden menyatakan, mereka memertimbangkan aksi CSR perusahaan sebelum memilih perusahaan sebagai tempat mereka bekerja. Sebanyak 87% responden memertimbangkan aksi CSR sebelum mengunjungi dan membeli produk tertentu. Sementara 85% responden memertimbangkan aksi CSR perusahaan sebelum merekomendasikan produk atau layanan tertentu.
Penelitian itu juga semakin menegaskan pentingnya aksi CSR untuk meningkatkan citra perusahaan. Saat perusahaan mendukung aksi sosial dan lingkungan, sebanyak 96% responden global menyatakan, mereka akan semakin positif melihat citra perusahaan. Sebanyak 94% responden juga menyatakan, mereka akan lebih percaya pada perusahaan, sementara 93% responden menyatakan akan semakin setia dengan perusahaan (misal dengan terus membeli produk dan menggunakan jasa perusahaan).
Yang lebih penting lagi, penelitian ini juga mengungkapkan, isu pembangunan ekonomi (38%) terus menjadi prioritas utama yang harus menjadi perhatian perusahaan – naik 4% dibanding penelitian tahun 2011. Isu lingkungan menempati posisi kedua (19%) diikuti oleh isu hak asasi manusia (11%) dan isu kemiskinan dan kelaparan (11%). Laporan lengkap Global CSR Study 2013 bisa diunduh pada tautan berikut ini: Global CSR Study 2013.

Pertumbuhan Kota Menggerus Habitat Alami


Kota bertumbuh menggerus lahan pedesaan, habitat hewan dan tanaman semakin terabaikan. Lingkungan alami berubah menjadi jalan, rel kereta, lahan parkir dan bangunan. Memaksa populasi hewan dan tanaman liar hidup dalam lahan yang semakin sempit.
Tren ini muncul di semua negara baik negara maju maupun negara berkembang, termasuk Indonesia.
Cara paling mudah untuk melihat semakin meluasnya alih guna lahan adalah melalui udara. Hutan dan lahan, yang alami maupun yang semi alami terus berganti fungsi. Pengamatan satelit di atas wilayah Eropa dari tahun 1990 hingga 2006 menjadi cerita menarik tentang lanskap ini.
Menurut laporan European Environment Agency (EEA) yang diperbaharui Minggu (22/7), hampir 50% pergantian lahan alami dan semi alami digunakan untuk wilayah pemukiman baru, fasilitas umum dan rekreasi. Tutupan lahan artifisial di Eropa seperti jalan raya dan bangunan, naik 2,3 % per tahun dari tahun 1990 ke 2000. Angka ini turun menjadi 1,5% antara tahun 2000 hingga 2006.
Lahan artifisial di Eropa, luasnya mencapai 4%. Namun, menurut data EEA, lahan artifisial adalah satu-satunya jenis lahan di Eropa yang luasnya terus bertambah. Eropa masih memertahankan luas wilayah hutan mereka yang saat ini mencapai 34%. Sementara luas padang rumput, lapangan terbuka dan lahan basah mencapai masing-masing 8%, 6% dan 2%.
Sebanyak 43% lahan di Eropa dipakai sebagai lahan pertanian, yaitu lahan pertanian tanpa irigasi (50%) dan ladang penggembalaan (16%). Penggunaan lahan untuk kedua tipe tanah ini terus meningkat sejak 1990. Alih guna lahan tercepat terjadi di Portugal, Irlandia, Hungaria, Finlandia dan Swedia. Sementara penggunaan lahan yang paling stabil terjadi di wilayah pegunungan. Negara Eropa dengan tingkat alih guna hutan tertinggi terjadi di Finlandia dan Norwegia, sementara alih guna lahan untuk pertanian terbesar terjadi di Spanyol.
Di Indonesia, peralihan hutan menjadi lahan perkebunan terus terjadi. Data dari Direktorat Jenderal (Ditjen) Perkebunan, Kementerian Pertanian menyebutkan, wilayah perkebunan kelapa sawit terus tumbuh dengan pesat, mencapai rata-rata 400.000 ha per tahun. Pada 1995 luas wilayah perkebunan sawit hanya 2 juta hektar. Data terakhir dari Departemen Pertanian menyebutkan, luas wilayah perkebunan sawit telah melonjak melebihi 9 juta hektar.
Sementara data akhir tahun lalu menyebutkan, luas wilayah hutan produksi yang bisa dikonversi, mencapai 20,9 juta hektar atau 11,14% dari wilayah hutan Indonesia. Di perkotaan kebutuhan terhadap perumahan, pusat perbelanjaan dan gedung perkantoran menyebabkan kota-kota di Indonesia kesulitan memenuhi syarat ruang terbuka hijau sebesar 30%.
Sesuai UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dari 30% RTH yang diamanahkan, sebanyak 20% adalah RTH Publik dan 10% adalah RTH Privat. Dan rata-rata RTH di Indonesia baru mencapai 12-13% dari 20% RTH Publik yang menjadi tanggung jawab pemerintah. DKI Jakarta yang seharusnya menjadi contoh provinsi-provinsi yang lain baru memiliki RTH Publik sebesar 9,8% dari luas wilayah Ibu Kota.
Habitat alami yang tergerus ini menurut EEA akan mengancam keberadaan spesies alami di alam. Tidak hanya manusia, burung, serangga dan tanaman liar tergusur dari habitatnya. Wilayah hijau yang seharusnya menjadi paru-paru kota dan lokasi rekreasi keluarga tak tersedia.
Ketika tanah lapang tertutup aspal, pohon menjadi beton masalah lingkungan muncul bersama dengan masalah kesehatan. Kota kehilangan wilayah serapan air dan penyerap polusi udara. Panas di perkotaan terus meningkat menyebar di wilayah sekitarnya. Solusinya adalah memertahankan wilayah alami yang tersisa sambil perlahan kembali mengubah kota menjadi lingkungan yang bersahaja.

Unilever Dukung Petani Sawit RSPO Pertama di Indonesia

WWF - Logo
Siaran Pers WWF Indonesia- Medan (13/11) – Asosiasi Petani Sawit Swadaya Amanah – yang beranggotakan 350 petani – menjadi cerita sukses dalam mendorong kelapa sawit yang berkelanjutan. Tiga bulan setelah asosiasi yang berlokasi di Kabupaten Ukui, Riau ini memperoleh sertifikat RSPO untuk pengelolaan sawit lestari, Amanah berhasil mengikat komitmen dari Unilever. Perusahaan ini menghormati pencapaian tersebut dengan membeli sertifikat GreenPalm Amanah. Pembelian tersebut memungkinkan para petani swadaya untuk terus menerapkan praktik berkelanjutan mereka dan memberikan dampak positif bagi lingkungan, ekonomi dan sosial.
Asosiasi Amanah adalah kelompok petani sawit swadaya pertama di Indonesia dan kedua di dunia yang memperoleh sertifikasi RSPO. Selama proses fasilitasi yang dilakukan oleh WWF-Indonesia, dukungan untuk Amanah terus berdatangan dari Kementerian Pertanian, Pemerintah tingkat provinsi dan kabupaten di Riau, RSPO, Asian Agri dan Carrefour Foundation Internationa. Setelah berhasil memperoleh sertifikat, tantangan berikutnya adalah untuk mengamankan dukungan pasar untuk produk mereka.
“WWF-Indonesia mengapresiasi komitmen Unilever untuk mendukung petani sawit swadaya pertama di Indonesia yang memperoleh sertifikasi RSPO, Amanah. Dukungan ini akan membantu para petani lokal ini dalam menjaga kinerja baik mereka, sesuai dengan standar pengelolaan kelapa sawit swadaya serta menginvestasikannya untuk peningkatan keahlian dan kapasitas mereka. Kami mengharapkan ini dapat menjadi motivasi bagi petani swadaya lainnya dalam mengarusutamakan prinsip kelestarian dalam praktik mereka. Pada saat bersamaan, kami juga berharap agar perusahaan mau berkomitmen untuk mendukung kelompok petani swadaya yang bersertifikat RSPO dalam pertumbuhan mereka,“ kata Dr. Efransjah, CEO WWF-Indonesia.
Cherie Tan, Direktur Sustainable Sourcing and Smallholder Development Unilever, turut menyampaikan dukungannya, “Hasil positif yang diperoleh dari kerjasama dengan petani swadaya, RSPO, WWF menjadi bukti bahwa pola kemitraan adalah langkah yang paling tepat dalam mentranformasi industri sawit, menghentikan deforestasi, dan memberikan dampak sosial yang positif bagi pemilik perkebunan dan masyarakat lokal. Kami berterimakasih untuk peranan WWF dan pihak lain yang terlibat dalam membantu petani swadaya untuk memperoleh sertifikat RSPO mereka.”
Unilever adalah salah satu dari perusahaan yang memperoleh nilai tertinggi dalam Palm Oil Scorecard 2013 yang dikeluarkan oleh WWF baru-baru ini. Laporan dua tahunan ini mengukur performa perusahaan ritel dan produsen barang konsumsi terkait komitmen mereka untuk mendukung dan membeli produk minyak sawit bersertifikat RSPO.
Teladan transformasi rantai pasok minyak sawit yang berkelanjutan dapat dilihat dari kesepakatan antara Asosiasi Amanah dengan Unilever. Unilever telah bersepakat untuk membeli TBS yang dihasilkan oleh Asosiasi Amanah sampai dengan tahun 2018 dengan harga yang cukup apresiatif terhadap pengorbanan dan kerja keras para petani tersebut dalam memenuhi standar pengelolaan sawit yang lestari. Komitmen Unilever yang dimulai 2013 ini menjadi bukti buah sawit yang dihasilkan oleh petani swadaya Indonesia tidak dipandang sebelah mata oleh industri minyak sawit global, sebuah langkah maju bagi petani sawit swadaya Indonesia.
-o0o-
Untuk informasi lebih lanjut, silahkan hubungi:
Irwan Gunawan, Deputy Director Market Transformation Initiative, WWF-Indonesia.
Email: igunawan@wwf.or.id, Hp: +62 8128748535
Annisa Ruzuar, Communication Coordinator Market Transformation Initiative, WWF-Indonesia.
Email: asruzuar@wwf.or.id, Hp: +62 81320044343
Catatan untuk editor:
Asosiasi Petani Sawit Swadaya Amanah adalah badan hukum beranggotakan 349 petani swadaya yang difasilitasi oleh WWF-Indonesia dan didaftarkan ke RSPO melalui mekanisme sertifikasi kelompok. Anggota asosiasi ini memiliki lahan di luar Taman Nasional Tesso Nilo. Peta lokasi kebun anggota kelapa sawit Amanah dapat diunduh di link berikut: http://bit.ly/19yH7uC
Penerapan prinsip dan kriteria RSPO telah membawa hasil yang menggembirakan bagi anggota Asosiasi Amanah. Produksi sawit mereka mengalami peningkatan produktivitas dan proses produksinya menjadi lebih efisien. Berbeda dengan asosiasi petani sawit lainnya, Amanah memiliki “tim unit semprot” yang khusus menangani penyemprotan herbisida sesuai hasil analisa daun.
Dengan praktik ini, ada penurunan biaya penggunaan herbisida dari Rp. 900.000 per hektar/tahun menjadi hanya Rp. 400.000. Dari sisi produksi, TBS yang dihasilkan justru meningkat dengan proyeksi 24 ton/hektar/tahun dari sebelumnya 20 ton/hektar/tahun.
Pembelian sertifikat GreenPalm atau Book and Claim adalah salah satu mekanisme rantai pasok kelapa sawit.
Opsi ini memungkinkan perkebunan bersertifikat RSPO untuk mengubah sawit bersertifikasi mereka menjadi sertifikat. Produsen barang berbahan baku sawit dapat melakukan penawaran untuk sertifikat ini. Klaim yang dapat dibuat oleh perusahaan tersebut adalah mereka dan produk mereka mendukung produksi kelapa sawit yang bersertifikat RSPO.
Untuk keterangan lebih lanjut kunjungi www.greenpalm.org
Berdasarkan data Kementerian Pertanian, lebih dari 40% kebun kelapa sawit di Indonesia dikelola oleh petani, dengan Riau sebagai provinsi penghasil kelapa sawit terbesar di Indonesia. Dari 2.1 juta hektar perkebunan di Riau, 1.1 juta hektar dikelola oleh petani, baik plasma maupun petani swadaya.

Media Sosial Tingkatkan Kesehatan


Media sosial (social media) memberikan manfaat kesehatan bagi mereka yang telah berusia lanjut. Kesimpulan ini terungkap dari hasil penelitianUniversity of Luxembourg yang dirilis baru-baru ini. Sosial media mampu memberikan dukungan kepada mereka saat sakit atau tengah mengalami gangguan kesehatan.
Menurut Dr Anja Leist dari INSIDE, lembaga penelitian milik University of Luxembourg, saat ini gagdet semakin mudah digunakan. Alat-alat ini membantu mereka yang telah berusia lanjut untuk bergabung ke sosial media, forum dan jejaring online.
Kegiatan ini memberikan kesempatan bagi mereka untuk lebih banyak memeroleh informasi mengenai kesehatan, memberikan mereka solusi dan membuat mereka siap menjalani kosekuensinya. Manfaat positif lain yang bisa diperoleh adalah keterlibatan mereka dalam diskusi antara pasien dan dokter terkait masalah kesehatan.
Media sosial juga bisa membantu mengatasi perasaan kesepian dengan membuka kesempatan bagi mereka untuk lebih banyak berkomunikasi dan menjalin interaksi dengan lingkungan. Sehingga, jika digunakan secara tepat, media sosial bisa membantu mereka mengurangi stres.
Yang perlu dihindari adalah akses atas informasi yang tidak akurat dan penggunaan data-data pribadi, terutama data mereka yang telah meninggal dunia dan menderita gangguan kesehatan yang akan merendahkan martabat mereka yang telah berusia lanjut.

Perang Baru Melawan Kejahatan Lingkungan


Sebuah konsorsium internasional menerbitkan panduan baru guna membantu negara memerangi kejahatan hutan dan satwa liar.
Setiap hari, tanaman dan satwa liar terus ditebang, dipetik dan diburu di wilayah yang kaya keanekaragaman hayati guna memuaskan kebutuhan pasar dunia.
Praktik penebangan, pencurian dan perburuan ilegal ini seringkali dikendalikan oleh organisasi atau sindikat kriminal.
Praktik illegal mengirim, memasok, memiliki serta mengosumsi tumbuhan serta satwa liar ini semakin marak sehingga mengancam kelestarian ekosistem dan ekonomi masyarakat yang menggantungkan kehidupannya dari sumber daya alam.
Dampak ekonomi, sosial dan lingkungan dari praktik perdagangan ilegal inilah yang melandasi aksi International Consortium on Combating Wildlife Crime (ICCWC) meluncurkan Wildlife and Forest Crime Analytic Toolkit dalam konferensi yang berlangsung di Jenewa, Swiss, minggu lalu (27/7).
Wildlife and Forest Crime Analytic Toolkit ini berisi panduan guna membantu negara mulai dari mengumpulkan dan menganalisis data serta bukti kejahatan, memersiapkan dan mengidentifikasi pelaku hingga membawa pelaku ke pengadilan.
Alat ini juga membantu negara melakukan analisis secara global dan sistematis atas pola perdagangan tumbuhan dan satwa ilegal guna memahami motif dibalik praktik pelanggaran hukum tersebut. Alat ini memberikan informasi dan pengalaman dari berbagai negara terkait strategi mereka mengatasi perdagangan liar dalam skala nasional, regional dan global.
Informasi mengenai perdagangan tumbuhan dan satwa ilegal masih sangat kurang jika dibandingkan dengan perdagangan ilegal lain seperti narkoba.
Untuk itu ICCWC juga bekerja sama dengan organisasi bea dan cukai di seluruh dunia menanggulangi masalah perdagangan satwa dan tumbuhan ilegal ini.
Kunio Mikuriya, Sekretaris Jenderal Organisasi Bea dan Cukai Dunia (World Customs Organization) menyatakan, pihaknya berkomitmen penuh untuk bekerja sama dengan ICCWC menanggulangi kejahatan lingkungan ini. “Panduan dari ICCWC ini melengkapi ‘senjata’ yang telah disusun oleh WCO dan organisasi internasional lain guna menanggulangi kejahatan lingkungan yang seringkali melintasi batas negara,” ujarnya sebagaimana dikutip dalam siaran pers UNEP, Rabu (25/7).
Kerugian dari perdagangan tanaman dan satwa ilegal ini diperkirakan mencapai US$16-27 miliar per tahun (termasuk perdagangan kayu dan hasil laut). Komoditas yang ramai diperdagangkan adalah bagian tubuh harimau, gading gajah, cula badak, burung-burung langka serta reptil.
Penelitian terbaru yang dilakukan Bank Dunia berjudul “Justice for Forests” melaporkan, kerugian negara akibat perdagangan kayu ilegal mencapai angka USD10 miliar per tahun.
Menurut laporan United Nation Office on Drugs and Crime The Globalization of Crime (UNOFDC) berjudul “A Transnational Organized Crime Threat Assessment”, wilayah Asia Tenggara adalah wilayah yang memiliki hutan alami berusia ratusan tahun yang luasnya mencapai 7% dari cadangan hutan dunia.
Wilayah ini juga memiliki berbagai macam spesies tanaman yang unik. Sebagai paru-paru dunia, hutan berfungsi menyerap CO2 penyebab perubahan iklim dan pemanasan global. Namun tingkat penggundulan hutan di Asia Tenggara adalah yang terpesat di dunia. Sebagian dari kerusakan hutan ini terkait dengan praktik penebangan illegal dan kejahatan terorganisir yang menimbulkan kerusakan yang tak bisa dipulihkan.
Masyarakat lokal juga rentan terkena dampak dari kerusakan lingkungan ini yang diperparah oleh perilaku korup pejabat di tingkat lokal hingga nasional, kekerasan, kehilangan pendapatan dan sumber kehidupan.
Lebih dari 50% kayu ilegal yang beredar di pasar dunia diperkirakan berasal dari Asia dan Eropa dan sekitar 20% dari kayu-kayu ilegal tersebut diekspor ke wilayah Uni Eropa dan sekitar 25% masuk ke China.

Ketika Salju Tak Lagi Turun di Amerika


Curah salju yang turun di wilayah kutub diproyeksikan meningkat, namun curah salju di wilayah lain akan terus berkurang. Kondisi ini terungkap dalam beritaPrinceton University yang dirilis Jum’at (22/2).
Proyeksi ini bersumber dari model iklim terbaru yang dikembangkan oleh National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) Geophysical Fluid Dynamics Laboratory (GFDL) yang kemudian dianalisis oleh ilmuwan di GDFL dan tim dari Princeton University.
Menurut para ahli, turunnya volume salju ini akan menimbulkan krisis air bersih di sejumlah wilayah Amerika bagian barat yang mengandalkan es yang mencair sebagai sumber air tawar mereka. Hasil penelitian ini telah diterbitkan di Journal of Climate.
Model penelitian NOAA mengindikasikan, curah salju akan menurun di sebagian besar wilayah bumi akibat efek pemanasan global yang dipicu oleh kenaikan emisi CO2 yang konsentrasinya kini telah berlipat ganda.
Hasil pengamatan NOAA menunjukkan, konsentrasi CO2 di atmosfer telah naik hingga 40% dibanding level pertengahan abad ke-19. Konsentrasi CO2 ini diperkirakan akan terus meningkat hingga 200% pada akhir abad ini. Di Amerika Utara, penurunan curah salju terbesar akan terjadi di wilayah pesisir timur laut, di daerah pegunungan, serta di wilayah barat laut Pasifik. Wilayah pesisir Virginia hingga Maine, juga wilayah pantai Oregon dan Washington, hanya akan mendapatkan curah salju kurang dari separuh curah salju saat ini.
Yang menarik, menurut tim peneliti, kondisi ini tidak berlaku pada daerah yang sangat dingin. Curah salju di wilayah yang sangat dingin, justru akan naik karena udara yang hangat menyimpan kelembapan yang tinggi, yang akan meningkatkan curah salju di wilayah tersebut.
Tim peneliti menemukan, wilayah di sekitar benua Arktika dan Antartika akan memeroleh curah salju lebih banyak. Puncak pegunungan tertinggi seperti di pengunungan Himalaya bagian barat laut, pegunungan Andes dan wilayah Yukon juga akan mendapatkan curah salju yang tinggi saat emisi CO2 berlipat ganda.
Penemuan baru ini bertentangan dengan sejumlah model iklim lain yang meramalkan penurunan curah salju di wilayah Arktika dan Antartika. Namun benang merah dari hasil penelitian ini terlihat sangat jelas, jika nanti tak ada lagi salju yang turun di kota-kota di Amerika, seperti di Washington misalnya, peningkatan emisi gas rumah kaca adalah penyebabnya.

Dunia Bersiap Hadapi Kekeringan


Bencana kekeringan tidak hanya mengancam penduduk miskin di negara berkembang. Negara maju juga menghadapi risiko yang sama.
Dalam beberapa tahun terakhir, kekeringan telah menimpa sejumlah negara seperti Australia, Brasil, Djibouti, Eropa tenggara, Meksiko, Rusia, Somalia, Spanyol dan Amerika Serikat.
Walaupun tidak seseram bencana-bencana lain, seperti gempa bumi, topan dan banjir, bencana kekeringan ternyata lebih banyak mencabut nyawa dan memaksa penduduk mengungsi dibanding bencana-bencana alam yang lain. Hal ini terungkap dari berita World Meteorological Organization yang dirilis Kamis (14/3).
Sejak 1900, lebih dari 11 juta penduduk meninggal akibat bencana kekeringan dan 2 miliar penduduk terkena dampaknya. Kerugian ekonomi yang dipicu oleh bencana kekeringan mencapai $6-8 miliar setiap tahun sehingga bencana ini berdampak ke lebih banyak penduduk.
Data World Meteorogical Organization menyebutkan, luas tanah kering dunia terus meningkat 2% setiap sepuluh tahun sejak 1950. Frekuensi, intensitas dan durasi kekeringan ini terus meningkat akibat perubahan iklim.
Krisis ini merusak hasil pembangunan dan menjerumuskan jutaan penduduk ke lembah kemiskinan, terutama mereka yang menggantungkan hidunya dari mengolah lahan. Perempuan, anak-anak dan mereka yang telah berusia lanjut adalah kelompok yang paling banyak menanggung penderitaan ini.
Bencana kekeringan yang terus berulang di wilayah Afrika misalnya, terus merusak ekonomi dan memicu bencana kelaparan. Kekeringan di Sahel mengurangi produksi serealia hingga 26% pada 2012 dibanding tahun sebelumnya. Situasi ini terus memburuk. Saat ini lebih dari 10 juta penduduk masih kekurangan pangan dan 1,4 juta anak-anak terancam kekurangan gizi akibat kekeringan.
Untuk mengatasi ancaman ini World Meteorological Organization (WMO), Food and Agriculture Organization (FAO) dan UN Convention to Combat Desertification (UNCCD) menekankan pentingnya kerangka kebijakan dalam skala nasional guna membantu prediksi kekeringan dan memastikan masyarakat memeroleh informasi ini dengan tepat, cepat dan akurat.
Dalam konferensi di Jenewa, Swiss, yang berlangsung minggu lalu (11-15 Maret), ketiga lembaga ini juga menggarisbawahi pentingnya peralihan ke pola pembangunan berkelanjutan yang “memungkinkan keluarga tidak lagi tergantung pada bantuan pangan saat terjadi bencana kekeringan.”
Pihak yang berperan penting dalam aksi peralihan ini adalah petani. Petani bertugas menjaga produktivitas pertanian dan keberlangsungan pasokan. Untuk itu sistem yang berkelanjutan agar masyarakat dan petani mampu bertahan menghadapi kondisi perubahan iklim yang ekstrem sangat penting.
Menurut WMO, selain di Sahel, wilayah lain yang mengalami kekeringan ekstrem adalah Algeria, Chad, Eritrea, Mali, Mauritania, Niger, Senegal, Sudan dan Sudan Selatan. Sejak krisis kekeringan berlangsung setahun yang lalu, hingga saat ini 9 juta penduduk masih menggantungkan bantuan pangan dari World Food Program (WFP).